Dunia Ngutip

Perkenalan Terhadap Perhitungan Logging While Drilling

Posted on March 3, 2008. Filed under: Dunia Geosains, Dunia Ngutip, Dunia Well log |

Beberapa hari yang lalu aku browsing2 di internet dan…. nemu tulisan menarik tentang logging dan ini tulisan alumni geofisika ITS sendiri dan nemunya di blog alumni sendiri 😀 yang nulis mas Fauzul Firdaus dan nemunya di blognya AM Ustadz pengelola ustadz.net. OK lain kali tentunya aku sendiri yang akan nulis 😛

Perkenalan Terhadap Perhitungan Logging While Drilling

 

Oleh: Fauz Firdaus

Logging while drilling maksudnya adalah pengambilan perhitungan properti petrofisis formasi seperti saturasi hidrokarbon, litologi, dll. di sekitar lubang sumur saat sumur tersebut dibor.

Klien menggunakan jasa LWD untuk mengevaluasi nilai produksi reservoir saat pengeboran dilakukan dan setelah pengeboran selesai. Untuk itu sangat penting ketepatan perhitungan alat LWD karena akan sangat menentukan kesinambungan rencana pengeboran yang telah disusun sebelumnya dalam suatu bentuk proposal pengeboran.

Beberapa tipe perhitungan logging while drilling antara lain:

1. Sinar Gamma
2. Resistivitas
3. Densitas & Porositas
5. Sonik
5. Seismik
7. Tekanan Formasi
8. Suhu & Tekanan Sumur

Disamping itu juga terdapat beberapa aplikasi lain yang sering dipakai saat pengeboran, bergantung dari tujuan pengeboran yang dilakukan.

Produk dari alat LWD bisa berupa kurva log, data numerik ascii ataupun model gambar. Kurva log adalah kumpulan titik-titik data yang mewakili hasil perhitungan formasi dan titik ini berurutan berdasarkan kedalaman pengeboran sehingga berbentuk kurva. Analisa semua data log dan data pendukungnya dikenal dengan nama interpretasi, dan hasil interpretasi inilah yang akan sangat menentukan keputusan eksplorasi dan produksi. Data numerik ascii sebernarnya sama saja dengan kurva log yang disalin ke dalam bentuk numerik sebagai perwakilan titik-titik data berdasarkan kedalaman tertentu. Sedangkan model gambar adalah bentuk produk perhitungan khusus dari alat LWD yang disajikan seperti kumpulan kurva log 2D atau 3D dan juga digunakan sebagai korelasi dengan data lainnya.

Sinar Gamma
Bergantung pada jenis sumber dan sensor sinar gamma yang dipakai pada berbagai macam alat logging, maka perhitungan ini bisa berupa perhitungan kandungan alami sinar gamma di formasi, ataupun perhitungan jumlah sinar gamma yang kembali ke sensor setelah ditembakkan sensor ke formasi. Apapun jenis sensor yang dipakai, sinar gamma digunakan untuk melihat kandungan radiokatif yang ada di formasi. Selain itu, pada aplikasi sensor densitas, sinar gamma juga dipakai untuk menghitung tingkat densitas formasi.

Sinar gamma umumnya dipakai untuk membedakan lapisan batuan pasir (sand) dan batuan lempung (shale). Sebagai aturan dasar, bahwa sand umumnya memiliki kandungan radioaktif yang lebih sedikit daripada shale. Namun hal ini tidak mesti terjadi pada semua tipe formasi, di berbagai belahan dunia, kandungan radioaktif juga banyak didapatkan di sand, yang kemudian dikenal dengan nama dirty sand. Untuk mempermudah pemahaman tentang sinar gamma kita bisa mengambil aturan dasar yaitu semakin tinggi nilai sinar gamma maka semakin banyak kandungn shale di formasi, begitu pula sebaliknya. Hal ini akan sangat baik jika dikombinasikan dengan data resistivitas untuk melihat apakah bisa disimpulkan bahwa nilai sinar gamma yang tinggi menunjukkan adanya shale dan sebaliknya.

Resisitivitas
Perhitungan yang dilakukan oleh alat LWD adalah perhitungan derajat seberapa besar formasi menolak arus listrik yang ditembakkan ke formasi oleh alat LWD. Data yang diambil oleh alat LWD sebenarnya adalah konduktifitas yang merupakan lawan dari resistivitas, namun dengan begitu maka dapat secara mudah dihitung nilai resistivitasnya.

Bergantung dari jenis alat resistivitas yang dipakai, perhitungan ini bisa dilakukan dengan injeksi arus secara langsung ke formasi, atau bisa berupa penembakan gelombang elektromagnetik ke formasi. Sistem perhitungan keduanya berbeda, namun hasil yang didapatkan mestinya sama. Sistem yang berbeda ini dirancang berdasarkan perbedaan lingkungan pengeboran dan jenis formasi, berkaitan dengan tipe lumpur yang dipakai saat pengeboran dan tujuan pengambilan data yang diinginkan.

Data yang dihasilkan berupa resistivitas dipakai untuk menafsirkan secara kasar tentang litologi formasi. Sebagai aturan dasar, semakin tinggi nilai resistivitas maka semakin tinggi kandungan batuan pasir (sand) dan semakin rendah kandungan resistivitas maka semakin tinggi nilai batuan lempung (shale). Dipakai bersama data sinar gamma, maka bisa dengan mudah kita melihat perbedaan litologi secara kasar untuk melihat prospek sand and shale suatu formasi, yang kemudian kita kenal dengan nama interpretasi shally-sand. Yaitu jika sinar gamma bernilai rendah dan resistivitas bernilai tinggi maka kemungkinan terdapat kandungan sand, begitu pula sebaliknya jika sinar gamma bernilai tinggi dan resistivitas bernilai rendah maka kemungkinan terdapat shale di formasi. Jika sinar gamma bernilai rendah dan resistivitas juga bernilai rendah, maka kemungkinan terdapat air di formasi. Jika sinar gamma bernilai tinggi dan resistivitas juga tinggi, maka kemungkinan terdapat kandungan sand yang berisi bahan radiokatif (dirty sand).

Pentingnya penafsiran sand dan shale ini adalah karena hidrokarbon yang kita cari (minyak dan gas) selalu bertumpuk di bebatuan pasir (sand) sehingga dengan penentuan litologi ini, bisa kita lihat secara kasar pada lapisan mana saja kita bisa temukan minyak dan gas dan pada lapisan mana saja yang tidak terdapat hidrokarbon tersebut. Namun begitu dari sekian lapisan yang terisi hidrokarbon, tidak semuanya bisa diproduksi karena kandungannya perlu kita lihat lebih cermat. Hal ini bisa dibantu dengan adanya parameter petrofisis yang lain seperti permeabilitas dan saturasi air yang kita hitung melalui data densitas dan porositas.

Porositas
Porositas adalah persentase formasi yang terisi oleh ruang berpori. Pada dasarnya ruang berpori terisi oleh hidrokarbon atau air. Satu hal yang sama diantara keduanya adalah sama-sama mengandung hidrogen.

Salah satu cara paling mudah untuk mengetahui seberapa banyak kandungan hidrogen di formasi yaitu dengan meggunakan neutron. Kenapa? karena neutron dan hidrogen bermusuhan. Kemana saja neutron pergi, jika ada hidrogen maka lajunya akan menjadi lambat. Jadi jika kita lemparkan 10 neutron ke formasi dan di sensor kita tangkap jumlah yang sama maka asumsi kita tidak ada kandungan hidrogen di formasi tersebut. Namun jika kita lemparkan 10 neutron ke formasi kemudian sensor kita hanya menangkap 2 neutron kembali ke sensor, maka asumsi kita adalah kandungan hidrogen di formasi tersebut sangat tinggi karena 8 neutron telah lebih lambat daripada 2 neutron yang lain. Kira-kira analogi perhitungan alat porositas adalah sepeti itu.

Kalau kita kembalikan ke perumusan pengertian porositas tadi, maka bisa kita tarik suatu asumsi dasar yaitu dengan semakin sedikitnya neutron yang kembali ke sensor, maka semakin banyak kandungan hidrogen di formasi, dan dengan begitu maka berarti formasi memiliki banyak pori-pori yang terisi oleh hidrogen, baik itu berupa air atau hidrokarbon.

Densitas
Densitas adalah jumlah massa per satuan volum. Sedangkan Densitas Bulk adalah hitungan kotor berat jenis secara total atau rata-rata per satu satuan. Dalam hal ini kita berbicara entang jumlah massa per satuan volum formasi.

Untuk menentukan densitas bulk ini kita bisa menggunakan aplikasi sinar gamma. Namun sinar gamma yang dimaksud di sini adalah sinar gamma yang ditembakkan ke formasi dan bukan sinar gamma yang secara alami terkandung di formasi. Efek sinar gamma yang bisa kita analisa untuk menghitung densitas adalah Efek Hamburan Compton dan Efek Serapan Fotolistrik.

Sebagai aturan dasar adalah semakin banyak kandungan elekron suatu materi maka semakin tinggi nilai densitas materi tersebut.

Ketika sinar gamma energi-sedang menjalar dan berinteraksi dengan atom, sebagian energinya dipakai untuk melempar elektron keluar dari jalur orbitnya dan sinar gamma-pun mengalami penurunan tingkat energi menjadi tingkat energi-lemah yang kemudian ia menjalar lagi, efek ini dikenal dengan nama Hamburan Compton. Ketika sinar gamma energi-lemah ini menjalar kembali dan berinteraksi dengan atom lainnya, karena tingkat energinya yang rendah maka ia terserap oleh atom tersebut, efek ini dikenal dengan nama Serapan Fotolistrik. Kedua efek ini berkaitan langsung dengan jumlah elektron yang terkandung di salam suatu atom. Semakin banyak elektron, semakin sedikit sinar gamma yang bisa menjalar karena efek hamburan dan serapan tadi.

Dengan begitu, semakin sedikit pula sinar gamma yang bisa kembali ke sensor yang ada di alat LWD. Sensor ini menghitung spektrum energi untuk menentukan seberapa banyak sinar gamma tingkat energi-sedang yang kembali ke sensor dan seperti apa tingkat energi sinar gamma tersebut. Semakin sedikit sinar gamma yang kembali ke sensor, berarti semakin banyak sinar gamma yang hilang berinteraksi dengan atom di formasi, yang menunjukkan banyaknya kandungan elektron di formasi tersebut atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat densitas formasi tersebut.

Lalu bagaimana hubungan densitas ini dengan keberadaan hidrokarbon di formasi? Alat LWD beroperasi berdasarkan asumsi bahwa densitas bulk alat sama dengan densitas bulk formasi. Namun pada kenyatannya teknik perhitungan ini tidak sama, karena alat LWD menghitung densitas bulk bedasarkan jumlah elektron pada suatu volum materi, sedangkan densitas bulk formasi bergantung terhadap berat atom atau jumlah proton dan neutron dalam suatu volum materi. Untuk itu perlu dicari perumusan yang menghubungkan antara densitas bulk alat LWD dan densitas bulk sebenarnya di formasi.

Berikut solusinya, silahkan dicermati secara pelan-pelan, ini tidak rumit tapi butuh daya tangkap yang bagus untuk mengerti algoritma perhitungannya:

  1. Kita definisikan jumlah elektron setiap satu gram atom, N(Z).
  2. Kita definisikan jumlah elektron setiap satu gram, N(Z/A).
  3. Kita definisikan jumlah elektron setiap sentimeter kubik, Ne = N(Z/A)RHOB dimana RHOB = densitas bulk formasi, dengan begitu Ne bisa kita sebut sebagai densitas elektron.
  4. Berdasarkan densitas elektron bisa kita definisikan indeks elektron sebagai, RHOE = 2(Ne/N), dengan begitu RHOE bisa kita sebut sebagai jumlah elektron pada suatu volum tertentu.
  5. Dari perumusan di atas bisa kita sederhanakan mejadi, RHOE = 2(Z/A)RHOB.
  6. Pada sebagian besar elemen yang ditemukan di lingkungan pengeboran, berat atom setara dengan dua kali nomer atom, atau dengan kata lain, jumlah proton dan neutron pada suatu atom setara dengan dua kali jumlah elektron pada atom tersebut, (2Z/A) = 1.
  7. Jadi perumusan RHOE bisa disederhanakan menjadi, RHOE = RHOB, ini kita rumuskan untuk sebagian besar elemen yang ditemukan di lingkungan pengeboran.
  8. Sedangkan densitas bulk LWD seperti yang dijelaskan di atas adalah berdasarkan jumlah elektron atau indeks densitas elektron, RHOA = RHOE, dimana RHOA adalah densitas bulk LWD.
  9. Sehingga bisa disimpulkan bahwa RHOA = RHOE = RHOB, atau densitas bulk LWD adalah setara dengan densitas bulk formasi.

Coba dilihat kembali bahwa (2Z/A) = 1, hal ini adalah benar pada hampir semua elemen yang ditemukan di lingkungan pengeboran, tapi tidak benar pada hidrogen. Karena hidrogen memiliki 1 proton, 1 elektron, dan tidak memiliki neutron. Jadi pada hidrogen perbandingan algoritma tersebut tidak sama dengan 1. Ini sangat penting bagi kita karena hidrogen terkandung di hidrokarbon dan air. Jadi ketika hidrogen terkandung di suatu formasi, maka RHOA tidak akan sama dengan RHOE.

Untuk mengatasi masalah perhitungan ini saat ditemukan kandungan hidrogen, maka dilakukan eksperimen untuk menentukan hubungan RHOA dan RHOE saat hidrogen terdapat di formasi. Yaitu dengan meletakkan alat pada suatu lempengan batuan kapur yang sudah diketahui porositasnya sekitar 0% sampai 40%, kemudian pori-porinya diisi dengan air. Melalui eksperimen ini ditemukan hubungan RHOA = (1.0704 RHOE) – 0.1883, yang dipakai Schlumberger untuk menghitung RHOA saat alat LWD berada di lingkungan yang mengandung hidrogen. Eksperimen juga dilakukan menggunakan lempengan batuan pasir dan dolomite, karena ketiga jenis batuan ini yang paling sering ditemukan di lingkungan pengeboran. Dengan hasil eksperimen tersebut maka semua alat LWD Schlumberger yang menghitung densitas harus dikalibrasi berdasarkan standard ini. Air dan minyak memiliki kandungan hidrogen yang hampir sama, sehingga tidak perlu adanya koreksi terhadap hasil perhitungan. Namun ketika alat LWD melintasi bebetuan yang berbeda semisal batuan garam dan gipsum, maka butuh sedikit koreksi terhadap hasil perhitungan densitas formasi yang diperoleh alat LWD, karena algoritma yang dipakai hanya diperuntukkan untuk jenis batuan kapur, pasir dan dolomite.

Semua hasil perhitungan ini adalah tidak mesti tepat karena adanya faktor-faktor di lingkungan pengeboran yang berubah dari waktu ke waktu juga akan mempengaruhi perhitungan. Koreksi-koreksi ini sangat penting adanya untuk ketepatan hasil akhir perhitungan parameter fisis yang akan diberikan kepada klien. Koreksi ini berbeda-beda antara satu perhitungan dengan perhitungan lain, misalnya pada sinar gamma kita harus koreksi dengan besarnya diameter sumur, berat jenis lumpur bor, kandungan potasium dan besarnya diameter alat. Porositas memiliki koreksi yang paling rumit karena sangat bergantung pada banyak faktor lingkungan pengeboran yang berubah setiap saat, seperti suhu di dalam sumur, tingkat ke-asinan formasi dan lumpur, jenis matrik formasi, besarnya diamter lubang sumur, indeks hidrogen formasi, dsb.

Sinar gamma, resistivitas, porositas dan densitas adalah jenis parameter fisis yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi formasi dan dari perhitungan-perhitungan ini bisa dilanjutkan untuk menginterpretasi formasi melalui tingkat permeabilitas, kandungan jenuh air, dsb. untuk kemudian diperoleh perhitungan jumlah hidrokarbon yang bisa diproduksi. Hal ini bisa kita bahas dalam bab lain berupa cara interpretasi dan perhitungan evaluasi formasi.

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...